Sudah bukan hal aneh saat ini jika
seorang guru ngaji, atau ustadz mendapatkan rejeki dengan cara berdakwah atau
sebagai guru ngaji dilingkungan sekitarnya. Dan banyak pula para dai yang
menyandarkan hidupnya dengan cara berdakwah semata, namun tentu masih banyak
para dai lainnya yang berbisnis dan berdagang, sebagai penopang untuk memenuhi
kebutuhan keluarga.
Bahkan tak heran jika ada sebagian dari
umat islam saat ini yang bertanya-tanya:
"Wah pak ustadz dapet
amplop!",
atau
"Ngaji al Quran digaji
hukumnya gimana ya?" atau mungkin
"Ceramah kok dibayar?"
Lalu bagaimana Hukumnya menerima atau
mengambil upah atau gaji dari pekerjaan tersebut?
Menerima atau mengambil upah karena
mengajar Al-Qur`an atau dakwah, merupakan masalah yang diperselisihkan oleh
para ulama.
Jumhur (mayoritas) ulama
berpendapat boleh
menerima upah atau mengambil upah karena mengajarkan Al-Qur`an atau dakwah.
Sebagian Ulama yang lain
berpendapat tidak boleh. Yang berpendapat seperti ini, yaitu: Imam Az
Zuhri, Abu Hanifah dan Ishaq bin Rahawaih. Yang berpendapat boleh, mereka
mengambil dalil hadits di atas yang diriwayatkan Imam Bukhari dari sahabat Ibnu
Abbas, juga beberapa hadits yang lain, seperti Nabi menikahkan seorang sahabat
dengan hafalan Qur’annya, dan ini haditsnya shahih yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhari dan Muslim dari sahabat Sahl bin Sa’ad.
Pendapat yang rajih (kuat) dari dua
pendapat ulama ini, yaitu tentang bolehnya mengambil upah dari mengajarkan
Al-Qur`an dan berdakwah.
Tetapi yang perlu diingat, bahwa setiap
orang yang menuntut ilmu, kemudian mengajarkan Al-Qur`an ataupun berdakwah,
maka dia harus melakukannya semata-mata ikhlas karena Allah dan
mengharapkan ganjaran dari Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Tidak boleh ia mengharapkan
sesuatu dari manusia baik berbentuk harta maupun yang lainnya. Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا
مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللهِ,لاَيَتَعَلَّمُهُ إِلاَّ لِيُصِيْبَ بِهِ عَرَضًا
مِنَ الدُّنْيَالَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
"Barangsiapa
menuntut ilmu, yang seharusnya ia tuntut semata-mata mencari wajah Allah ‘Azza
wa Jalla, namun ternyata ia menuntutnya semata-mata mencari keuntungan
dunia, maka ia tidak akan mendapatkan aroma wanginya surga pada hari
kiamat".
[Hadits shahih riwayat Abu Dawud, 3664;
Ahmad, II/338; Ibnu Majah, 252; dan Hakim, I/85 dari sahabat Abu Hurairah.
Hadits ini dishahihkan oleh Imam Hakim dan disetujui oleh Imam Adz Dzahabi].
Komentar saya; ngajarnya
gratis, bensin, transport dan menyisihkan waktu sampai meninggalkan keluarga,
itu yang seharusnya diberikan penghargaan yang pantas.
Titip motor tidak tambah pinter saja
bayar Rp. 1000,- meskipun cuma sepuluh menit. Lantas kenapa anaknya dititip ke
orang, plus tambah pinter mesti cari yang gratis?
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam
bersabda:
إِنَّ اَحَقَّ مَا
أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللهِ
"Sesungguhnya perkara yang paling
berhak kalian ambil upahnya adalah kitabullah".
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam
Ibnu Majah dalam "Bab Upah Dalam Mengajarkan Al-Qur'an", Imam
Al-Hakim dalam bab "Ijarah (Upah)", Imam Ibnu Hibban dalam "Bab
Bolehnya Mengambil Upah Dalam Mengajar Al-Qur'an", Imam Baihaqi dalam
"Bab Rizki Muadzin". Wallohu a'lam.
2.BAYARAN
DARI MENGAJARKAN AL QUR’AN
Assalamu’alaikum wr. wb.
Semoga Ustadz senantiasa dirahmati Allah
SWT. Amin. Ustadz maaf ana mau bertanya soal memungut/menerima upah/bayaran (berupa
uang) dari mengajar Al Qur’an secara privat atau di sekolah/yayasan,
Apakah dibolehkan menurut Syar’i kita
mengajar Al Qur’an terus minta bayaran, atau diawalnya kita sudah menentukan
harga paket pengajaran al qur’an sekian ratus ribu atau mungkin jutaan sampai
bisa/mahir membaca Al Qur’an.
Mohon jawabannya, karena ini penting
sekali pak ustadz, Terima kasih.
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Saudara Endang yang dimuliakan Allah SWT
Didalam sebuah hadits yang diriwayatkan
dari Ibnu Abbas bahwasanya Rasulullah SAW bersabda,”Sesungguhnya upah yang
paling benar kalian terima adalah Kitabullah.” (HR. Bukhori)
Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan bahwa
jumhur ulama telah berdalil dengan hadits ini didalam membolehkan mengambil
bayaran dari mengajarkan Al Qur’an.
Imam ash Shon’ani mengatakan bahwa
Jumhur ulama, Malik dan Syafi’i membolehkan mengambil upah dari mengajarkan Al
Qur’an baik orang yang belajarnya adalah anak kecil atau orang dewasa
seandainya hal itu dapat membantu si pengajar didalam penagajarannya
berdasarkan hadits diatas. Hal ini diperkuat lagi dengan apa yang disebutkan
didalam bab nikah dimana Rasulullah SAW pernah memerintahkan seseorang untuk
mengajarkan istrinya Al Qur’an sebagai mahar baginya. (Subul as Salam juz III
hal 155)
Sementara itu sebagian ulama yang
lainnya, seperti Ahmad bin Hambal, Abu Hanifah dan al Hadawiyah tidak
membolehkn pengambilan upah dari pengajaran Al Qur’an berdasarkan apa yang
diriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab berkata,”Aku telah mengajarkan seseorang Al
Qur’an kemudian dia menghadiahiku sebuah busur (panah). Maka aku pun mengungkapkan
hal ini kepada Nabi SAW dan beliau bersabda.”Apabila engkau mengambilnya
berarti engkau telah mengambil sebuah busur dari neraka.” Lalu aku pun
mengembalikannya.” (HR. Ibnu Majah, Abu daud)
Sementara itu para ulama belakangan pada
umumnya membolehkan pengambilan upah dari mengajarkan Al Qur’an dikarenakan
darurat yaitu kekhawatiran akan hilangnya Al Qur’an di tengah-tengah kaum
muslimin terlebih lagi dengan terputusnya pemberian kaum muslimin kepada baitul
mal sebagai lembaga penopang perekonomian umat yang mengakibatkan para guru Al
Qur’an tidak lagi menyibukkan dirinya dengan mengajarkan Al Qur’an kepada umat
karena tuntutan kebutuhan keluarga mereka.
Adapun apabila terjadi penentun sejumlah
harga tertentu diawal (akad) sebagai bayaran atas pengajaran Al Qur’an yang
dilakukannya maka terjadi perbedaan pendapat dikalangan para ulama.
Al Hasan al Bashri, Asy Sya’bi dan Ibnu
Sirin membolehkan pengambilan upah dari pengajaran Al Qur’an selama orang itu
tidak mensyaratkannya. Mereka berdalil dengan hadits Ubadah bin ash Shomit yang
telah mengajarkan Al Qur’an kepada seseorang dari Ahli Suffah kemudian orang
itu menghadiahinya dengan sebuah busur (panah) maka Nabi SAW bersabda,”Jika
engkau menyukai busur dari neraka maka terimalah.”
Sedangkan Imam Malik, Syafi’i dan yang
lainnya membolehkan pengambilan upah dari pengajaran Al Qur’an meskipun orang
itu menentukannya sebagai persyaratan.
Imam Nawawi mengemukakan dua jawaban
yang diberikan oleh mereka yang membolehkan hal itu terhadap hadits Ubadah bin
ash Shomit, yaitu :
1. Bahwa sanad hadits itu perlu
dikomentari.
2. Hal itu adalah tabarru’ (sedekah)
dari orang yang mengajarkannya Al Qur’an maka ia tidaklah memiliki hak sedikit
pun kemudian orang itu memberikannya hadiah sebagai bayaran atasnya maka tidaklah
diperbolehkan baginya untuk mengambilnya, berbeda dengan orang yang berakad
sewa dengannya sebelum pengajaran. (at Tibyan Fii Adab Hamlatil Qur’an hal 57)
Jika memang seorang pengajar atau
lembaga pengajaran Al Qur’an harus menentukan sejumlah harga tertentu sebagai
bayarannya maka hendaklah memperhatikan dua hal berikut :
1. Tetap menjaga keikhlasan didalam
dirinya dan tidak menjadikan bayaran tersebut sebagai tujuannya dikarenakan hal
itu akan menjadikan pengajarannya menjadi sia-sia disisi Allah SWT.
Syeikh Muhammad Mukhtar as Syinqithi
dalam menjawab pertanyaan tentang hukum mengambil upah dalam mengajarkan
ilmu-ilmu syar’iyah mengatakan,”…Imam Ibnu Jarir ath Thobari, Al Hafizh Ibnu
Hajar dan selainnya berpendapat bahwa orang yang dengan ilmunya bertujuan
akherat kemudian mendapatkan bayaran dari ilmunya disebabkan ketidakmapanan
dalam mendapatkan rezeki maka hal ini tidaklah merusak keikhlasannya selama
tujuannya adalah mengajarkan ilmu dan memberikan manfaat kepada kaum muslimin.
Maka tidaklah rusak keikhlasan seseorang dengan keberadaan bagian dari dunia,
sebagaimana ditunjukkan oleh perkataan yang shahih dari Al Qur’an dan Sunnah.”
2. Jangan sampai tujuan pengajaran Al
Qur’an yaitu memberantas buta huruf Al Qur’an ditengah-tengah umat menjadi
tidak tercapai dikarenakan ketidaksanggupan umat membayar harga yang
ditawarkannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar