Belum lama, aku menghadiri acara yang
diselenggarakan oleh salah satu masjid di kota Solo. Acara tersebut berlangsung
dari pagi hingga menjelang Zhuhur tiba, setelah adzan sholat Zhuhur
dikumandangkan akupun bergegas sholat dengan harus antri berwudhu terlebih
dahulu. Disaat menunggu giliran wudhu, akupun tidak membuang kesempatan untuk
mencari tahu atau sekedar ingin tahu berbagai pengumuman kegiatan Islam yang
terpampang tidak jauh dari tempatku berwudhu.
Dari sekian pengumuman yang kubaca,tak satupun yang membuatku tertarik atau sedikit memberikan perhatian,tapi justru aku tertarik pada laporan keuangan masjid yang terpampang dengan sangat jelasnya. Mengapa aku begitu tertarik ? Tak lain karena nominal dana saldo yang begitu fantastis,anda ingin tahu kira-kira berapa juta ? Mungkin kebanyakan dari anda akan memberikan jawaban tidak kurang dari Rp.10 juta bukan? Wah … jawaban anda salah,saldo masjid tersebut mencapai puluhan juta rupiah.
Dari sekian pengumuman yang kubaca,tak satupun yang membuatku tertarik atau sedikit memberikan perhatian,tapi justru aku tertarik pada laporan keuangan masjid yang terpampang dengan sangat jelasnya. Mengapa aku begitu tertarik ? Tak lain karena nominal dana saldo yang begitu fantastis,anda ingin tahu kira-kira berapa juta ? Mungkin kebanyakan dari anda akan memberikan jawaban tidak kurang dari Rp.10 juta bukan? Wah … jawaban anda salah,saldo masjid tersebut mencapai puluhan juta rupiah.
Terus terang baru kali ini aku mendapati dana saldo masjid yang begitu besar, dengan sedikit berharap semoga dana sebesar itu mampu memberikan perhatian umat atau masyarakat disekitar masjid tersebut dan tidak hanya digunakan untuk membangun dan kegiatan semata (pikirku dalam hati). Dan perlu anda tahu,bahwa dana sebesar itu bukanlah berasal dari subsidi pemerintah atau lembaga donor dana lainnya. Sungguh luar biasa,hal ini tentu menunjukkan semangatnya para pengurus masjid dalam menggalang dana ummat.
Selidik punya selidik akupun mencoba menanyakan asal dan manfaat dana tersebut pada salah satu ketua remaja masjid, wah…besar sekali dana saldo masjidnya, kegiatannya pasti makmur nih…., Tanyaku padanya. Tapi diluar dugaan Ketua remaja masjid tersebut menjawab dengan ringannya, makmur gimana mas ? TPA/TPQ hanya mendapatkan subsidi tidak kurang dari Rp. 150.000,- /bulan, pada hal ada 5 Tenaga Pengajar dan lebih 50 santri/wati TPA/TPQ.
Bagaimana dengan dana sebesar itu
TPA/TPQ bisa maju? Sedangkan para pengurus yang nota bene orang tua itu
menghendaki anak-anak sekitar masjid bisa ngaji dengan baik dan punya akhlak
yang baik pula ? Begitu sanggahan yang bernada kesal dari ketua remaja masjid
tersebut. Kemudian dia menambahkan,mas…dananya sedang diendapkan dan tak tahu
kapan akan dikeluarkan.
Ketika mendapatkan jawaban tersebut, aku terkejut dan bertanya dalam hati, o..iya…ya dana subsidi TPA/TPQ sebesar Rp.150.000,-/bulan jika dibandingkan dengan dana saldo masjid yang besarnya mencapai Rp. 30.000.000,- , kalau diprosentase dana untuk TPA/TPQ hanya 0,005 % saja. Wah dana sebesar itu untuk apa ya….? Kasihan sekali nasibmu TPA/TPQ, kalau masjid aja tidak ada yang peduli dengamu, lalu siapa yang mau memperhatikan masa depanmu ?
Ketika aku sampai di rumah, aku terus
saja terpikir akan nasib TPA/TPQ saat ini,begitu malang nasibmu. Lalu
bagaimana seandainya TPA/TPQ di kota Solo memiliki nasib yang sama..? Sungguh
ini pertanda kehancuran generasi masa depan,tak lain karena kita tidak pernah
atau kurang memberikan perhatian pada Pendidikan Al-Qur'an anak-anak
di TPA/TPQ. Masjid-masjid sekarang lebih senang membangun serta
kegiatan yang glamor yang menghabiskan dana jutaan rupiah dalam waktu yang
singkat dari pada pengajaran Al-Qur'an anak-anak kita.
Oh ….begitu malang nasib TPA/TPQ….? Semoga masih ada orang, lembaga atau pengurus masjid yang memberikan perhatian padamu lebih besar, dari pada perhatian yang lainnya, baik bangunan maupun kegiatan, karena berkat jasa dan perjuanganmu, anak-anak Islam bisa membaca Al-Qur'an, berkat usaha dan pengorbanannmu, umat saat ini kenal dengan Al-Qur'an. Doa ku untukmu …..Taman Pendidikan Al-Qur'an, semoga engkau tidak menjadi anak tiri di masjidmu sendiri……(Oleh : Nashrul)
Cerita Pendek Oleh Dodiek Humam S. Chudori
Sudah sepekan anak-anak yang mengaji di
masjid Nurul Iman tidak ada yang mengurus. Anak-anak hanya berlarian ke sana ke
mari. Sudah lima hari ini tidak satu pun ada guru mengaji yang mengajar di
sana.
Meskipun anak-anak yang mengaji dikenai
infak bulanan. Namun, hasilnya sangat tidak memadai untuk honor guru mengaji
yang mengajar. Itu sebabnya setiap bulan Tarmidzi terpaksa minta subsidi dari
kas masjid. Namun, yang dilakukan Tarmidzi menimbulkan masalah.
Sudah beberapa bulan ini, Neneng - istri
Tarmidzi - mendengar kabar yang tidak menyenangkan tentang suaminya, bahwa
Tarmidzi mau berkiprah di masjid yang belum sepenuhnya jadi karena ingin
menangguk keuntungan dari sana.
Untuk mengklarifikasi masalah itu,
Tarmidzi minta kepada ketua pengurus masjid untuk mengumpulkan semua pengurus,
tokoh masyarakat, serta para ketua RT. Lelaki berkacamata minus itu ingin
menjelaskan kenapa setiap bulan dirinya terpaksa meminta subsidi dari uang kas
masjid. Kenapa pula tenaga pengajar anak-anak di masjid itu sering berganti.
Tarmidzi tidak ingin apa yang dilakukannya selama ini justru menimbulkan
fitnah.
"Itu sebabnya saya terpaksa harus
ganti-ganti guru ngaji. Karena, jika mereka mendapat pekerjaan dapat dipastikan
akan mengundurkan diri," kata Tarmidzi setelah memaparkan panjang lebar
tentang keadaan anak-anak yang mengaji di masjid.
"Sebetulnya honor guru ngaji di
sini tak lebih dari sekedar ucapan terimakasih. Sebab, andaikata setiap guru
ngaji datang ke sini dengan menggunakan kendaraan umum, honor itu tidak cukup
untuk biaya transport. Hanya saja, karena belum berkeluarga, mereka tidak
pernah mempersoalkan honor yang mereka terima," lanjut Tarmidzi.
"Oh, jadi guru ngaji sekarang sudah
kenal duit?" celetuk Zulfar. "Soalnya di kampung saya dulu, asal ada
lampu sentir, anak-anak sudah bisa mengaji," tambah Zulfar, "Karena
dulu orang mengajar ngaji nawaitunya lillahi ta'ala. "
Tiba-tiba pertemuan itu menjadi kaku.
Semua orang terlihat tegang setelah mendengar lontaran kalimat ketua RW itu.
Tarmidzi yang paling tegang. Telinganya terasa panas mendengar ucapan Zulfar.
Karena merasa dipojokkan, Tarmidzi marah. Ingin rasanya ia menghajar mulut
suami Irawati itu.
Untuk menetralisir kemarahannya,
Tarmidzi istighfar dalam batin. "Bagi orang yang tidak pernah mengaji atau
orang bakhil, nawaitu lillahi ta'ala sengaja disalahtafsirkan. Sebab,
dengan cara menyimpangkan makna lillahi ta'ala , orang bisa seenaknya
memperlakukan guru ngaji. Guru agama pun khawatir dianggap tidak ikhlas apabila
menuntut hak yang layak. Padahal mereka tetap mempunyai kewajiban yang sama
dengan orang lain. Memberi nafkah, menyediakan perumahan, menyekolahkan
anaknya, membayar cicilan rumah, dan lain-lain," ujar Tarmidzi setelah
berhasil meredam kekesalannya.
"Anak seorang dai tetap perlu
membayar uang sekolah dan membeli keperluan sekolah. Istri seorang muballigh
bila membeli beras maupun sayuran tidak hanya separuh harga. Rumah seorang kyai,
ajengan, atau seh tetap membayar rekening listrik kepada PLN. Jika menggunakan
pesawat telepon juga tidak gratis. Nah, barangkali Pak RW bisa mencari guru
mengaji yang tidak mempunyai kewajiban seperti itu."
Mendengar penjelasan panjang lebar dari
Tarmidzi, orang-orang yang ada di tempat itu tercenung. Sebelum orang lain
bicara lagi. Tarmidzi kembali buka suara, "Mulai sekarang saya kembalikan
kepercayaan bapak-bapak kepada saya untuk mengurus anak yang mengaji di sini.
Barangkali Pak Zulfar bisa mencari guru ngaji yang tidak perlu membayar cicilan
rumah, atau ustad yang istrinya kalau belanja hanya separuh harga, dan
anak-anaknya bisa digratiskan sekolahnya. Dengan demikian, kas masjid tidak
akan berkurang untuk membayar honor guru ngaji."
Tarmidzi menyerahkan berkas-berkas
kepada Baharudin, ketua pengurus masjid. Baharudin sama sekali tidak bertanya
kenapa berkas-berkas itu diserahkan lelaki yang duduk di sebelahnya. Tarmidzi
lantas pulang. Ia tak ingin berlama-lama duduk di sana. Tarmidzi ingin menghindari
mujadalah dengan orang-orang di masjid.
Esoknya tak ada guru mengaji yang datang
ke masjid. Anak-anak menjadi tak terurus. Mereka hanya berlarian ke sana kemari
di dalam masjid, dan membuat orang-orang yang ada di sana jengkel. Menyadari
ada sesuatu yang tidak beres, Baharudin mendatangi Tarmidzi. Minta kesediaannya
untuk kembali menjadi pengurus masjid, dan bersedia menghubungi tenaga pengajar
ngaji lagi. Namun, Tarmidzi terlanjur kecewa.
"Lebih baik Pak Bahar cari
pengganti saya atau bereskan dulu pembangunan fisik masjid. Masjid kan masih
banyak butuh biaya. Kalau pengajian anak-anak dihidupkan lagi justru akan
mengurangi kas masjid. Uang yang seharusnya untuk beli semen atau pasir akan
terpakai untuk honor guru ngaji," ujar Tarmidzi.
"Tapi...."
"Atau begini saja, Pak,"
potong Tarmidzi, "Nanti kalau ekonomi saya sudah mapan, saya sudah jadi
orang kaya, saya bersedia diserahi seksi pendidikan anak-anak. Dengan demikian
saya tak akan membebani kas masjid untuk honor pengajar."
"Apakah Pak Tarmidzi
tidak...."
"Ini keputusan saya, Pak,"
untuk kedua kalinya Tarmidzi memotong kalimat Baharudin, "Saya akan
berkiprah lagi di masjid jika ekonomi saya sudah mapan. Kalau tidak, lebih baik
saya jadi jamaah saja, Pak."
Malam itu, rumah Baharudin dipenuhi
tokoh masyarakat. Mereka tengah membicarakan nasib anak-anak di masjid Nurul
Iman. Sudah sepekan anak-anak tak ada yang mengurus. Anak-anak hanya berlarian
ke sana, karena tak ada guru mengaji yang datang.
"Kalau masalahnya seperti itu, biar
nanti anak-anak kami yang mengurus," ujar Hasan setelah mendengar
penjelasan Baharudin.
"Ya, saya juga bisa membantu Pak
Hasan," kata Ali.
"Betul apa kata Pak Hasan sama Pak
Ali. Masa, kita-kita tidak ada yang mengurus anak-anak. Nanti saya juga bisa
ngajar, kok," sambut Royani. "Pokoknya kalau masalah ibadah yang
penting kita ikhlas. Semuanya akan jadi beres," tambah Sulaeman.
"Yang jelas, uang kas masjid jangan
sampai diutak-utik. Biar pemasukan dari tromol infak atau yang lainnya untuk
pembangunan masjid," tukas yang lain lagi, "Saya yakin orang yang
menyumbang pasti untuk kepentingan pembangunan masjid. Bukan untuk honor guru
ngaji."
Setelah berbagai pendapat dikemukakan.
Akhirnya mereka sepakat untuk tetap melanjutkan pengajian anak-anak di masjid
Nurul Iman. Tenaga pengajarnya adalah mereka yang telah menyatakan kesediaan
menggantikan Tarmidzi dan kawan-kawannya. Mereka itu adalah Hasan, Ali, Royani,
Mukhlis, dan Topik.
Namun, lima orang itu ternyata tidak
sanggup mengurusi anak-anak. Setelah mereka pegang, pengajian anak-anak hanya
bisa bertahan setengah bulan. Setelah itu tidak ada yang mau dipasrahi mengurus
pengajian anak-anak. Akibatnya, anak-anak di kompleks perumahan itu tak ada
lagi yang mengaji.
Setelah Tarmidzi berhenti mengajar
ngaji, sejak itu pula masjid Nurul Iman tak ada kegiatan pengajian anak-anak
lagi. Karena menjadi pengajar ngaji tidak semudah yang mereka bayangkan.
Meskipun demikian, tidak ada orang yang berani mendatangkan guru ngaji
anak-anak dari luar penghuni kompleks. Mereka khawatir dianggap mencari
keuntungan di balik semua yang dilakukannya.
Masjid yang berdiri di tengah kompleks
perumahan itu makin megah. Bangunan tempat ibadah itu makin sempurna. Namun,
tak ada rohnya. Sebab, tak ada kegiatan apa pun di sana kecuali hanya untuk shalat
lima waktu dan shalat Jumat. Tiap shalat lima waktu pun hanya ada satu shaf
yang berdiri di belakang imam. Itu pun jarang sekali penuh satu baris.
Kendati demikian, segenap pengurus
masjid merasa bangga. Lantaran, bangunan itu lebih indah dan lebih megah dari
rumah-rumah yang ada di sekitarnya.
(Ironis sekali ….)
Jangan
Habiskan Uang Masjid Untuk Pembangunan Semata
Saatnya menginvestasikan Dana
Masjid untuk Menyiapkan Generasi Muslim yang kuat dan tangguh.
Akankah
anak-anak kita dibiarkan begitu saja menghadapi godaan dunia yang amat kejam
?
Akankah kita biarkan anak-anak kita hanyut dalam arus duniawi ?
Jangan Sampai
Masjid-masjid kita hanya bisa untuk ibadah semata, kalau bisa melahirkan
generasi muslim yang kuat dan tangguh imannya meneruskan mengelola serta
mengembangkan masjid tempat mereka sendiri.
Renungan
buat kita para pengelola masjid ; Kita habiskan puluhan, ratusan bahkan mungkin
milyaran uang untuk membangun masjid menjadi begitu megah tapi setelah dibangun
hanya orang-orang tua yang bisa menikmati ibadah sedangkan anak-anak kita
sangat sulit diajak ke masjid.
Lebih baik kita tidak habiskan uang masjid untuk
mempermegah bangunannya sisakan untuk membuat program-program yang mampu melahirkan
generasi penerus kita.
Bisa jadi fisik masjid kita tidak begitu megah tapi
selalu ramai oleh anak-anak yang belajar Al-Quran setiap sore dengan penuh keceriaan
serta kegembiraan dan tentunya sejuk sekali mata dan hati kita memandang dan
merasakan.
Hadirkanlah suasana itu dengan Taman Pendidikan Al-Quran Insya Allah
seperti menghadirkan Taman Surga Dunia dihadapan kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar